Gue masih bertanya-tanya: sejak kapan kata “mahasiswa” punya beban seberat ini? Mungkin sejak kata itu disandingkan sama “perubahan”.
Agen perubahan konon katanya.
Disandingin sama suara lantang di jalanan, sama ruang diskusi yang selalu panas, sama idealisme yang pelan-pelan keropos dikikis realita dan digit semester yang makin nambah.

Di satu sisi, kita belajar soal sistem politik, soal sejarah perlawanan. Gimana sebuah orasi bisa ngubah arah satu bangsa. Tapi juga gimana, di tempat orasi yang sama, mahasiswa bisa berubah jadi kacung negara.

Di sisi lain, di malam yang sama, kita bisa ada di pesta dadakan. Minum minuman murahan yang dibeli diam-diam. Ketawa keras-keras sampai diusir tetangga. Stalking lawan jenis yang kita suka tapi ga pernah berani buat mulai obrolan.

Antara rapat organisasi dan deadline kuis, kita jatuh cinta. Kadang pada orang, kadang pada gagasan. Kadang patah karena keduanya. Lalu kita mulai bertanya lagi: gue kuliah ini buat apa sebenernya? Buat nyenengin orang tua? Buat sekadar gelar dibelakang nama? Buat jadi bagian dari sesuatu yang lebih besar?

Pertanyaan-pertanyaan yang harusnya udah selesai dijawab bahkan sebelum kita daftar kuliah. Tapi ternyata balik lagi di tengah jalan. Pertanyaan salah jurusan yang mungkin sudah ada dari zaman plato ngajar aristoteles tentang dunia ide. Pertanyaan apakah kuliah itu passion kita atau bukan.

Tapi eksistensi kita. Gue rasa. Bukan cuma ada di ruang kelas. Bukan juga di meja kafe dengan kopi 35 ribu secangkir yang kita datangi buat “nugas”. Eksistesi kita ada di pilihan-pilihan kecil. Mau diam atau bersuara sekeras-kerasnya. Mau ikut arus atau nyari jalan sendiri. Mau jadi mahasiswa yang hadir absen doang atau yang hadir di pertanyaan-pertanyaan penting zaman ini.

Politik, pesta, cinta, dan eksistensi. Mungkin semuanya berkaitan. Kadang absurd, kadang saling bertabrakan. Tapi mungkin emang disitulah letaknya. Menjadi mahasiswa hari ini bukan tentang memilih satu sisi, tapi tentang berjalan ditengah semuanya. Dan menjadi waras tentunya.

(Judul diambil dari buku Catatan Harian Seorang Demonstran karya Soe Hok Gie)